Jalinan cinta antara Bung
Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi
memperoleh Fatmawati yang begitu dicintanya Bung Karno dengan perasaan yang
sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Inggit. Sosok wanita yang
begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai
Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering
dilalui Bung Karno bersama Inggit. Namun sejarah berkata lain. Kehadiran
Fatmawati diantara Bung Karno dan Inggit telah merubah segalanya.
Tapi benarkah Fatmawati
merupakan pelabuhan cinta terakhir Bung Karno ?
Perjalanan sepasang
merpati penuh cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur,
Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah
tangga, Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama
Hartini. Inilah pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara
Sukarno dan Fatmawati.
Bagaimana Bung Karno
menjelaskan ihwal perpisahan itu? Adalah sebuah misteri, sampai ketika salah
seorang ajudan dekatnya, Bambang Widjanarko, pada suatu sore di tahun 1962,
memberanikan diri mempertanyakan hal itu. Bambang adalah salah satu ajudan yang
diketahui sangat dekat hubungannya dengan putra-putri Presiden. Demi melihat
hubungan anak-anak dengan ayahnya, tanpa seorang ibu di antara mereka, Bambang
sering merasa nelangsa.
“Ada apa Mbang,” Bung
Karno bertanya.
“Mohon Bapak jangan
marah, saya ingin membicarakan adik-adik tercinta, putra-putri Bapak.”
“Ya, Mbang, ada apa
dengan anak-anak?”
“Begini Pak, sudah dua
tahun saya menjadi ajudan Bapak. Setiap hari saya melihat dan bergaul dengan
putra-putri Bapak, saya juga amat menyayangi dan mencintai mereka. Mungkin
segala keperluan lahiriah sudah cukup mereka peroleh, tapi menurut saya ada
sesuatu yang amat mereka butuhkan, mereka dambakan siang-malam, yakni adanya
seorang ibu yang mendampingi dan mengasihi mereka siang-malam. Karena itu, bila
Bapak berkenan demi kebahagiaan anak-anak, apakah tidak lebih baik bila Bapak
meminta Ibu Fat kembali ke Istana?
Wajah Bung Karno seketika
berubah menjadi kelam, dan matanya tajam menatap Bambang, ajudannya. Tentu
saja, hal itu membuat Bambang kecut, campur aduk antara takut dan menyesal
telah lancang mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno. Rumah tangga Presiden,
Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi.
Yang terjadi selanjutnya
adalah, Bung Karno diam barang semenit-dua. Setelah itu, senyum tipis
tersungging di bibir Bung Karno seraya berkata, “Bambang, jangan takut, aku
tidak marah kepadamu. Mari duduk, akan aku ceritakan kepadamu.”
Dengan kaki lemas dan
menahan malu, Bambang akhirnya duduk mendengar uraian Bung Karno….. “Mbang,
pertama percayalah bahwa aku tidak marah kepadamu. Aku mengerti betul maksudmu
didasari kehendak baik demi anak-anakku sendiri yang juga kau sayangi. Engkau
seorang muda yang penuh idealisme dan selalu berusaha mencapai itu menurut
norma-norma yang kau pelajari dan kau ketahui. Itu baik, tetap mungkin masih
banyak juga yang belum kau mengerti.”
“Bambang… menurut hukum
agama Islam, seorang istri mempunyai kewajiban antara lain harus mengikuti
suami dan berada di rumah suami. Istana Merdeka ini adalah rumahku, aku tidak
mempunyai rumah lain, dan aku tidak pernah mengusir Ibu Fat dari Istana ini.
Ibu Fat sendiri yang pergi meninggalkan rumahku, rumah suaminya. Aku juga tidak
pernah melarang Ibu Fat untuk datang atau kembali ke sini, atau melarang
menengok serta berada dengan anak-anak. Ibu Fat bebas untuk datang dan berada
di Istana ini…. Mbang…, adalah kurang tepat bila aku meminta Ibu Fat untuk
kembali, aku tidak pernah mengusirnya.”
Selanjutnya, Bung Karno
juga menceritakan saat-saat indah mereka di Bengkulu, zaman penjajahan Jepang.
Juga saat-saat kebersamaan di Yogyakarta, dan sebagainya. Banyak hal yang telah
terjadi di antara keduanya, dan itu menyadarkan siapa pun tentang betapa
kompleksnya kehidupan manusia. Dan itu semua makin membuat Bambang tertunduk
makin dalam. Ia merasa malu telah berani memberi nasihat Bung Karno tanpa
berpikir panjang.
Akhirnya, BK menutp
uraiannya dengan berkata, “Bambang, biarlah orang-orang, termasuk anak-anakku,
menyalahkan diriku; aku toh seorang laki-laki. Tetapi anak-anakku wajib
mencintai dan terus menghormati serta menghargai ibunya. Semua kesalahan biar
ada padaku. Dan, Bambang, terima kasih atas perhatianmu pada anak-anakku. Merskipun
bukan merupakan tugas pokok, tolong… turutlah juga mengawasi anak-anakku itu.”
Mendengar uraian penutup
Bung Karno, tak terasa air mata mengalir pelan di pipi Bambang Widjanarko.
Seketika, Bambang berdiri, memberi hormat dan meninggalkan Bung Karno sendiri
dalam kamarnya. Sejak itu, hati kecilnya bersumpah, ia tidak akan pernah lagi
mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno.
0 komentar:
Posting Komentar